Kamis, 15 Desember 2011

Klimak

KLIMAKS

A.    PENGERTIAN KLIMAKS
Tingkat terakhir dari proses suksesi dicapai ketika komunitas tersebut stabil. Komunitas terakhir ini biasanya relatif stabil, tahan lama, jenis makhluk hidupnya lebih banyak dan lebih kompleks, dan di dalamnya berlangsung berbagai interaksi antar anggota komunitas. Komunitas demikian disebut komunitas klimaks. Komunitas klimaks merupakan akhir dari serangkaian proses suksesi. Artinya, komunitas demikian dapat dicapai setelah melalui beberapa tahap suksesi. Komunitas klimaks adalah komunitas terakhir dan stabil (tidak berubah) yang mencapai keseimbangan dengan lingkungannya. Komunitas klimaks ditandai dengan tercapainya keseimbangan yaitu suatu komunitas yang mampu mempertahankan kestabilan komponennya dan dapat bertahan dari berbagai perubahan dalam system secara keseluruhan. Tiap-tiap tahap suksesi tersebut disebut tahap suksesional, sedangkan seluruh rangkaian tahapan suksesi dikenal dengan istilah sere. Beberapa ciri komunitas klimaks antara lain adalah sebagai berikut.
1.        Mampu menyokong kehidupan seluruh spesies yang hidup di dalamnya.
2.        Mengandung lebih banyak makhluk hidup dan macam – macam bentuk interaksi dibandingkan komunitas suksesional.
Setelah melalui beberapa tahapan perkembangan ekosistem atau sere, suatu ekosistem dapat mencapai tahapan akhir klimaks atau dapat pula dianggap sebagai puncak perkembangan ekosistem. Salah satu ciri pada komunitas klimaks yaitu dengan tidak terdapatnya penumpukan zat organik netto tahunan. Hal ini disebabkan karena produksi tahunan komunitas seimbang dengan konsumsi tahunan.
Banyak ahli berpendapat bahwa iklim klimaks pada suatu wilayah belum tentu dapat dicapai walau komunitas yang sudah “mantap” sekalipun, karena masih menunjukkan adanya perubahan, penyesuaian dan pembusukan. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa perubahan suatu komunitas dipengaruhi oleh kejadian-kejadian yang terdapat dalam komunitas tersebut. Berdasarkan hal tersebut telah dipakai kesepakatan bahwa hampir tidak mungkin pada suatu wilayah mencapai iklim klimaks, sehingga iklim klimaks tunggal merupakan komunitas teoritis yang dituju semua suksesi dalam perkembangan pada suatu daerah, asalkan keadaan lingkungan fisik secara umum tidak terlalu ekstrem sehingga dapat mampu mempengaruhi iklim lingkungan. Umumnya suksesi berakhir pada klimaks edaphik, dengan hanya terkait pada masing-masing pengaruh faktor pembatas fisik pada wilayah setempat.
Meskipun suksesi pada suatu ekosistem untuk dapat mencapai klimaks membutuhkan waktu yang tidak sebentar, namun cepat lambatnya masih tergantung pula oleh tingkatan suksesi yang terjadi kepadanya. secara umum terdapat dua macam ekosistem suksesi yaitu, ekosistem suksesi primer dan ekosistem suksesi sekunder. Ekosistem suksesi primer lebih dinyatakan pada berkembangnya ekosistem tersebut melalui substrat yang baru. Artinya kehidupan yang ada pada ekosistem tersebut setelah perlakuan benar-benar dimulai dari nol, dan harus dimulai dari kerja organisme pionir dengan segala perlakuan dari faktor pembatas fisik yang ada. Sedangkan ekosistem suksesi sekunder berkembang setelah ekosistem alami rusak total tetapi dimulai dengan tidak terbentuk substrat yang baru, atau dapat dianggap sebagai dimulainya kehidupan baru setelah adanya “gangguan” pada ekosistem alami.
Contoh suksesi sekunder salah satunya yaitu kebakaran hutan tahun 1994 yang terjadi di Bukit Pohen Cagar Alam Batukahu telah menyisakan kerusakan sebagian areal kawasan konservasi. Restorasi ekologi dipertimbangkan sebagai salah satu alternatif untuk mengatasi pemulihan kerusakan kawasan tersebut. Dalam upaya menyusun model restorasi yang sesuai untuk kawasan Bukit Pohen, telah dilakukan survey dilapangan mengenai kondisi vegetasinya. Hasil survey lapangan menunjukkan bahwa sedang terjadi suksesi sekunder di kawasan ini dengan kehadiran beberapa jenis indikator seperti Eupatorium, Melastoma dan Homalathus. Spesies lokal penting seperti Dacrycarpus imbricatus juga ditemukan di bekas areal yang terbakar dan mulai ber-regenerasi. Di dalam makalah ini juga didiskusikan usulan konsep restorasi yang terintegrasi untuk membantu memulai perbaikan ekosistem di kawasan ini. (Sutomo, 2009. Jurnal Biologi XIII (2) : 45)
Di dalam kondisi klimaks ini spesies-spesies itu dapat mengatur dirinya sendiri dan dapat mengolah habitat sedemikian rupa sehingga cenderung untuk melawan inovasi baru. Di dalam konsep klimaks ini Clements berpendapat:
1.      Suksesi dimulai dari kondisi lingkungan yang berbeda, tetapi akhirnya punya klimaks yang sama.
2.      Klimaks hanya dapat dicapai dengan kondisi iklim tertentu, sehingga klimaks dengan iklim itu saling berhubungan. Dan kemudian klimaks ini disebut klimaks klimatik.
3.      Setiap kelompok vegetasi masing-masing mempunyai klimaks.
Karena iklim sendiri menentukan pembentukan klimaks maka dapat dikatakan bahwa klimaks klimatik dicapai pada saat kondisi fisik di sub stratum tidak begitu ekstrem untuk mengadakan perubahan terhadap kebiasaan iklim di suatu wilayah. Kadang-kadang klimaks dimodifikasi begitu besar oleh kondisi fisik tanah seperti topografi dan kandungan air. Klimaks seperti ini disebut klimaks edafik. Secara relatif vegetasi dapat mencapai kestabilan lain dari klimatik atau klimaks yang sebenarnya di suatu wilayah. Hal ini disebabkan adanya tanah habitat yang mempunyai karakteristik yang tersendiri.
Jadi, di dalam wilayah tertentu dapat dikenali adanya:
1.      Klimaks tunggal yang klimatiks, yaitu yang bersifat berkeseimbangan dengan iklim secara umum
2.      Klimaks edafik yang cacahnya berbeda-beda, yang termodifikasi oleh kondisi substrat lokal.
Klimaks klimatik ialah komunitas teoretik yang merupakan kecenderungan tujuan semua perkembangan suksesional di wilayah manapun, komunitas klimatik ini akan dapat terjadi jika kondisi fisik substrat tidak terlalu ekstrem. Suksesi akan berakhir pada suatu klimaks yang edafik pada topografi, tanah, air, api, atau gangguan lain sehingga klimaks klimatik tak dapat berkembang. Bila komuitas stabil, tetapi bkan klimaks klimatik atau klimkas edafik, dipelihara oleh manusia dan hewan ternaknya maka dapat dinamakan disklimaks (=klimaks gangguan) atau subklimaks anthropogenik. (Soetjipta, 1993 :192)
Adakalanya vegetasi terhalang untuk mencapai klimaks, oleh karena beberapa faktor selain iklim. Misalnya adanya penebangan, dipakai untuk penggembalaan hewan, tergenang dan lain-lain. Dengan demikian vegetasi dalam tahap perkembangan yang tidak sempurna (tahap sebelum klimaks yang sebenarnya) baik oleh faktor alam atau buatan. Keadaan ini disebut sub klimaks. Komunitas tanaman sub klimaks akan cenderung untuk mencapai klimaks sebenarnya jika faktor-faktor penghalang/penghambat dihilangkan.
Telah dijelaskan bahwa akhir suksesi adalah terbentuknya suatu komunitas klimaks. Berdasarkan tempat terbentuknya, terdapat tiga jenis komunitas klimaks sebagai berikut :
1.      Hidroser yaitu sukses yang terbentuk di ekosistem air tawar.
2.      Haloser yaitu suksesi yang terbentuk di ekosistem air payau
3.      Xeroser yaitu sukses yang terbentuk di daerah gurun.
Pembentukkan komunitas klimaks sangat dipengaruhi oleh musim dan biasanya komposisinya bercirikan spesies yang dominan. (http://sobatbaru.blogspot.com/2008/06/pengertian-suksesi.html)
Suksesi meliputi pengorganisasian sendiri dan perubahan dimana ekosistem – ekosistem menjadi mantap dan kadang-kadang kembali ke awal (retrogress). Suksesi dipertimbangkan berakhir apabila suatu pola ke suatu kondisi yang kurang terorganisir memulai melakukan  suksesi lagi. Klimaks adalah merupakan puncak pertumbuhan. (Odum, 1992 : 456)
Meskipun klimaks adalah relatif stabil dan bertahan lama sebagaimana kalau dibandingkan dengan tahap permulaannya, hal ini tidak diketahui bila suatu komunitas adalah komplit ‘self pertuating’ dan permanen. “Catastrophes” seperti kilat, kebakaran, dan periode yang panjang dari kekeringan dapat memperpendek jangka hidup dari suatu komunitas. Sebagai contoh, bila suatu padang rumput menunjukkan menunjukkan suatu seri dari tahun kekeringan, ia akan kembali ke belakang pada tahap suksesi awalnya mengandung lebih dari tahunannya dan perenial kehidupan yang pendek. Di sana beberapa kejadian yang menunjukkan bahwa suatu proses umur kemungkinan mengambil tempat pada hutan yang telah lama. Jadi, pohon-pohon muda mungkin tidak menggantikan pohon yang lebih dewasa yang mati, daur mineral dan aliran energi rata-rata akan menjadi turun secara lambat. Beberapa ahli ekologi menyatakan bahwa pada klimaks yang lama dapat menjadi mati dan dapat digantikan oleh komunitas yang muda, kemungkinannya berbeda dalam peningkatan spesiesnya. Karena itu, tidak banyak diketahui tentang pada waktu sekarang dan lebih banyak studi perlu banyak dilakukan. (Ramli, 1989 : 175)
 Contoh vegetasi yang mengalami gangguan berupa kebakaran adalah pada hutan Bukit Pohen yang merupakan salah satu situs dari Cagar Alam Batukahu pada tahun 1994 mengalami kebakaran hutan dan mengakibatkan pengurangan luasan hutan sebesar 30,4 Ha. Untuk mendapatkan gambaran mengenai kondisi vegetasinya dilakukan survei pada titik pengamatan di lokasi yang terkena kebakaran. Seperti terlihat pada gambar, pada lokasi ini terdapat rumpang atau gap yang cukup luas akibat kehilangan penutupan tajuk hutan oleh api. Kondisi terbuka ini menyebabkan perubahan iklim mikro dan komposisi serta struktur vegetasinya. Hutan ini adalah hutan sekunder yang tengah berproses ke arah komunitas klimaks setelah terjadinya kebakaran hebat pada tahun 1994.

B.     TEORI KLIMAKS
Gangguan dapat menyebabkan modifikasi klimaks yang sebenarnya dan ini menyebabkan terbentuknya sub klimaks yang berubah (termodifikasi). Keadaan seperti ini disebut disklimaks (Ashby, 1971). Sebagai contoh vegetasi terbakar menyebabkan tumbuh dan berkembangnya vegetasi yang sesuai dengan tanah bekas terbakar tersebut. Odum (1961) mengistilahkan klimaks tersebut dengan pyrix klimaks. Tumbuh-tumbuhan yang dominan pada pyrix klimaks antara lain: Melastoma polyanthum, Melaleuca leucadendron dan Macaranga sp. Contohnya di Bukit Pohen, suksesi sekunder pada tahap fallow stage tengah berjalan, yang ditandai dari dominansikehadiran jenis-jenis seperti Eupatorium odoratum,Melastoma malabathricum Lantana dan Rubus. Van Steenis, (1972) juga melaporkan adanya dominasi jenis Eupatorium pada hutan sekunder muda bekas perkebunan teh di Cibodas. Demikan pula halnya di petak tujuh hutan lindung Kaliurang Yogyakarta yang bekas terbakar dijumpai pula Eupatorium sebagai dominansi jenis tumbuhan bawahnya (Sutomo, 2004). Demikian pula Melastoma yang memang kerap dijumpai hidup di lokasi-lokasi alami yang terganggu karena pembukaan lahan pada ketinggian tempat hingga 3000 m d.p.l . Selain terna, pada tingkat pohon juga banyak terdapat jenis pohon Homalanthus giganteus di bekas lahan kebakaran hutan di Bukit Pohen.
Jika pergantian iklim secara temporer menghentikan perkembangan vegetasi sebelum mencapai klimaks yang diharapkan disebut pra klimaks (pre klimaks). Berhubungan dengan berbagai klimaks maka terdapat kekaburan arti klimaks. Oleh karena terjadi ketidak sepakatan kemudian berkembang tiga teori klimaks dengan argumentasi masing-masing, yaitu sebagai berikut:
a.      Teori Monoklimaks
Dalam teorinya pada tahun 1916 Clements menyatakan bahwa komunitas klimaks untuk suatu kawasan semata-mata merupakan fungsi dari iklim. Dia memperkirakan bahwa pada waktu yang cukup dan bebas dari berbagai pengaruh gangguan luar, suatu bentuk umum vegetasi klimaks yang sama akan terbentuk untuk setiap daerah iklim yang sama. Dengan demikian iklim sangat menentukan batas dari formasi klimaks. Pemikiran ini dipahami sebagai teori monoklimaks dan diterima secara luas oleh pakar botani pada pertengahan awal dari abad ini.
Clements dan para pendukungnya dari teori monoklimaks ini tidak melihat kenyatan bahwa banyak sekali variasi lokal dalam suatu daerah iklim tertentu. Variasi-variasi ini oleh Clements dianggap fasa seral meskipun berada dalam keadaan yang stabil. Clements menganut teori klimaks ini didasarkan pada keyakinan akan waktu yang panjang, dimana perbedaan-perbedaan local dari suatu vegetasi akibat kondisi tanahnya akan tetap berubah menjadi bentuk vegetasi regionalnya apabila diberi waktu yang cukup lama. Penamaan-penamaan khusus diberikan untuk menggambarkan perbedaan-perbedaan vegetasi local ini. Istilah ”subklimaks” dipergunakan untuk suatu fasa seral akhir yang berkepanjangan yang akhirnya akan berkembang juga ke bentuk klimaksnya. Sedangkan istilah ”disklimaks” dipakai untuk komunitas tumbuhan yang menggantikan bentuk klimaks setelah terjadi kerusakan.
Teori monoklimaks menyebutkan bahwa tiap-tiap wilayah hanya memiliki  satu komunitas klimaks dan semua komunitas akan menuju ke arah komunitas klimaks tersebut. Asumsi fundamental yang dicetuskan Clements, jikalau diberi waktu dan keterbatasan dari gangguan, maka akan dihasilkan suatu vegetasi klimaks yang tergolong ke dalam tipe umum yang sama  dan akan dimantapkan tanpa mengingat kondisi tenpat sebelumnya. Iklim, menurut Clements adalah faktor penentu untuk vegetasi dan klimaks di area manapun adalah suatu fungsi dari iklim di daerah itu.
Tetapi di area tertentu yang manapun akan didapati dan ada saja komunitas yang bukan klimaks seperti yang dimaksudkan oleh Clements, komunitas yang non-klimaks dan komunitas yang klimaks dalam keadaan ekuilibrium. Kedua jenis komunitas tersebut ditentukan oleh faktor topografi, edafik, dan biotik.oleh karena banyaknya pengecualian dan anyaknya peristilahan di dalam teori Celemnts mengenai monoklimaks ditentang oleh kebanyakan ekologiwan.


b.      Teori Poliklimaks
Beberapa pakar ekologi berpendapat bahwa teori monoklimaks terlalu kaku. Tidak memberikan kemungkinan untuk mengangkat variasi lokal dalam suatu komunitas tumbuhan. Dalam tahun 1939 Tansley, seorang pakar botani dari Inggris mengusulkan suatu alternatif yaitu teori poliklimaks, dengan teori ini memungkinkan untuk mendapat mosaik dari bentuk klimaks dari setiap daerah iklim. Dia menyadari bahwa komunitas klimaks erat hubungannya dengan berbagai faktor yang mempengaruhinya yaitu meliputi tanah  ;drainage ; dan berbagai faktor lainnya. Teori poliklimaks mengenal kepentingan dari iklim, tetapi faktor-faktor lain hendaknya jangan dipandang sebagai suatu faktor yang bersifat temporal. Teori poliklimaks mempunyai keuntungan yang besar, dalam memandang semua komunitas tumbuhan yang sifatnya stabil bisa dianggap sebagai bentuk klimaks. Teori poliklimaks ini ternyata pendekatannya tidak bersifat kaku, sehingga dapat diterima dikalangan pakar secara luas. (http://www.scribd.com/doc/49145571/Buku-ajar-EKTUM)
Teori poliklimaks menyebutkan bahwa banyak komunitas klimaks yang berbeda dapat dikenali dalam suatu area tertentu dan klimaks yang demikian itu dikendalikan oleh lengas dalam tanah, zat hara di dalam tanah, aktivitas makhluk hewan, dan faktor lainnya
Perbedaan mendasar dari teori monoklimaks dan poliklimaks adalah terletak dalam faktor waktu di dalam pengukuran nisbi. Penganut monoklimaks mengatakan bahwa jika diberi waktu secukupnya, suatu komunitas tunggal akan berkembang bahkan dapat menguasai klimaks edafik. Pertanyaannya adalah waktu yang digunakan apakah skala geologik atau skala ekologik. Butir penting di sini adalah bahwa iklim berfluktuasi dan tidak pernah konstan. Jadi kondisi ekuilibrium tidak pernah tercapai sebab vegetasi tidak di dalam iklim yang konstan tetapi di dalam iklim yang berubah. Iklim berubah pada skala waktu ekologik dan pada skala waktu geologik. Suksesi terjadi secara kontinu dalam vegetasi yang berubah dan dalam iklim yang berubah. (Soetjipta, 1993 :193)

c.       Teori Potensi Biotik atau Pola Klimaks Hipotesis
Dalam tiga decade terakhir para pakar menyadari bahwa komunitas klimaks tidak ditentukan oleh hanya satu atau lebih faktor lingkungan yang berinteraksi terhadapnya, seperti iklim tanah; topografi; dan sebagainya. Dengan demikian sekian banyak bentuk klimaks akan terjadi sebagai akibat kombinasi dari kondisi-kondisi tadi. Perhatikan konsep faktor holosinotik atau holismal. Pemikiran ini pertama-tama diformulasikan oleh R.H. Whittaker pada tahun 1950-an. Ia menekankan bahwa komunitas alami teradaptasi terhadap seluruh pola dari faktor lingkungan, dan komunitas klimaks itu akan bervariasi secara teratur meliputi suatu region dan merefleksikan perubahan faktor-faktor (suhu, tanah, bentuk lahan, dansebagainya), secara gradual. Klimaks dari setiap daerah merefleksikan potensi perkembangan ekosistem di lokasi itu. Pemikiran ini dikenal sebagai pola klimaks hipotesis atau teori potensial biotik. Pendekatan ini sedikit lebih abstrak daripada teori monoklimaks dan poliklimaks. Pendekatan ini memberi kemungkinan untuk penelaahan yang lebih realistik dari komunitas klimaks. Pada dewasa ini timbul tantangan-tantangan baru terhadap konsep-konsep klimaks ini. Berbagai ahli percaya bahwa suksesi berkecendrungan membentuk ekosistem yang kompleks dan lebih stabil. Tetapi mereka merasakan bahwa karakteristika dari hasil akhir perlu untuk dikaji kembali. Ini merupakan tantangan untuk kemajuan ekologi, dimana pada dewasa ini telah masuk dalam kajian yang modern dan tidak terbelenggu dalam pola pemikiran yang bersifat filosofis serta deskriptif lagi. Sejalan dengan perkembangan dari ekologi umumnya maka dalam kajian suksesi inipun mengalami perkembangan, dan dapat dibagi dalam dua perioda pendekatan, yaitu pendekatan secara lama atau tradisional disatu pihak dan pendekatan yang ditujukan untuk melengkapi atau mengoreksi pendekatan lama berdasarkan konsep-konsep ekosistem yang mendasarinya di fihak lain.
Komunitas alami beradaptasi dengan keseluruhan pola faktor lingkungan yang merupakantempat komunitas itu ada. Pada teori ini memperbolehkan banyak suatu kontinuitas tipe klimaks yang berbeda secara gradual  sepanjang gradien lingkungan yang tidak mungkin untuk dipisahkan menjadi tipe klimaks yang terpisah. Jadi teori pola klimaks hipotesis ini adalah suatu perluasan ide kontinu dan hampiran analisis gradien untuk vegetasi. (Soetjipta, 1993 :193

| Free Bussines? |

1 komentar: